<div style='background-color: none transparent;'></div>

World News

Featured Slider

Home » » REMAJA DAN PERSOALAN MORALITAS BANGSA

REMAJA DAN PERSOALAN MORALITAS BANGSA


Benarkah bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula tingkat kepeduliannya terhadap pengembangan moralitas generasi muda kita akhir-akhir ini (Ramaja)? Satu mungkin pertanyaan dari sekian banyak pertanyaan yang harus dilontarkan kepada orang-orang yang kita anggap memiliki pengalaman pendidikan cukup mumpumi dalam menjawab persoalan persoalan moralitas di era Trans-Informasi dewasa ini. Hal ini kemudian kita ungkit kembali mengingat bahwa tingkat partisipasi masyarakat indonesia terhadap pendidikan semakin hari semakin meningkat akan tetapi tidak berbanding lurus dengan kenyataan sosial yang carut marut sekarang ini terkhusus prilkau moralitas remaja kita. Dikepala kita mungkin masih mengingat ketika YPAI (Yayasan Perlindungan Anak Indonesia ) ditahun 2010 merilis sebuah hasil penelitian yang menjelaskan bahwa dari 4500 siswa (13-16 tahun) dikota-kota besar dipulau jawa 23,2 % siswinya sudah pernah melakukan aborsi dan 95 % siswa-siswi tersebut sudah pernah melakukan hubungan seksualitas (dari pegangan tangan sampai hubungan intim dengan lawan jenisnya layaknya suami istri), ataukah baru-baru ini (januari 2011) dalam sebuah stasiun televisi swasta menyiarkan telah beredarnya sebuah video asusila yang diperankan oleh remaja SMP didalam kelas disalah satu kabupaten di SUL-SEL. Dulu diawal tahun 2000 bangsa kita digegerkan dengan hadirnya sebuah penelitian dalam bentuk buku yang dilakukan oleh IIP Wijayanto (seorang Peneliti Yogyakarta) tentang fenomena sex in the Kost yang dilakukan oleh sebagian mahasiswa  diyogyakarta kemudian dilanjutkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Muammar Emka terkait Striptis (penari Bugil) dimana pelakunya banyak dari kalangan mahasiswi dan sekarang ini kita dihadirkan fenomena yang kurang lebih seperti itu namun sekmennya meningkat ke remaja-remaja usia sekolah. Inilah gambaran dunia riil yang kita hadapai sekarang, dimana persoalan etika dan moralitas sudah mengalami kemerosatan yang parah sampai pada batas denyut nadi. 

Lalu persoalan selanjutnya adalah ada apa dengan remaja kita sekarang ini? Bukankah sekarang ini remaja adalah tumpuan masa depan bangsa ini. Sejauh mana yang telah kita lakukan dalam menyiapkan generasi tersebut. Tentunya keberadaan dan keadaan remaja kita sekarang ini bukanlah sesuatu an sich , namun ia merupakan rentetan dari bekerjanya seluruh sistem yang ada, baik itu sistem yang terkontrol maupun sistem yang tidak terkontrol.  Mulai dari peranan keluarga dalam membina anggota keluarganya, peranan lembaga pendidikan selaku lembaga otoritas tertinggi kedua dalam mendidik sampai pada peranan lingkungan sosial dan pranata-pranata sosial lainnya yang turut membantu dalam hal pembentukan karakter remaja kita. Perlu kita pahami ketika seluruh pranata-pranata sosial diatas mampu bekerja dengan baik dan secara berkesinambungan dalam mendidik maka tentunya fenomena seperti penggambaran dari YPAI diatas akan mudah kita minimalisir bahkan tidak akan terjadi sama sekali. Sekali lagi hal itu bisa kita  wujudkan ketikan seluruh stake holder dapat berfungsi sebagai media pendidikan.
Long Live Education (pendidikan sepanjang masa), sebuah teori dalam dunia pendidikan mesti menjadi pedoman bagi kita semua. Pendidikan sepanjang masa menjelaskan bahwa pendidikan (persoalan mendidik) dilakukan tanpa ada henti-hentinya selama kita masih hidup, dengan prinsip bahwa setiap Orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah. Persoalan mendidik bukanlah menjadi tanggung jawab guru sepenuhnya selaku kalangan profesional, akan tetapi menjadi tanggung jawab bersama dari seluruh stake holder / orang yang peduli terhadap arti kemanusiaan. Hal ini kita angkat sebagai landasan mengingat pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Semua kalangan mestinya mengambil bagian dan perannya masing-masing dalam usaha menciptakan kondisi remaja ( generasi pelanjut ) yang berkarakter tanpa harus kehilangan nilai-nilai luhur ketimuran yang dianut oleh bangsa kita. Budaya malu dan Peduli(Siri’ na Pacce ), saling membesarkan dan saling membantu (Sipatuo Sipatokong) dalam hal ini Real Life dari ketinggian Nilai dan Kebudayaan Masyarakat Sul-Sel misalnya haruslah melekat dan menjadi spirit bagi kita khususnya dalam menyiapkan generasi pelanjut dimasa mendatang, pendidikan dengan berkarakterkan seperti itu menjadi harapan bagi kita semua. Pendidikan mestinya diarahkan pada penanaman Nilai nilai luhur selaku aspek yang sangat dekat dengan kebatinan masyarakat kita. Menumbuh kembangkan nilai siri’ na Pacce , sipatuo sipatokong sebagai nalar kebatinan yang turun temurun dari nenek moyang kita adalah salah satu modalitas yang dimana hal itu mampu mempengaruhi dan membentuk karakter remaja kita sehingga persoalan etika dan moralitas sebagai tuntunan masa depan akan mudah tercapai. Tentunya kita menginginkan generasi yang memiliki tingkat intelektual tinggi dengan dibarengi sisi etika dan moralitas yang sangat mumpumi.
Dari kasus – kasus yang dijelaskan terlebih dahulu kita kemudian berkesimpulan bahwa fenomena tersebut seperti fenomena gunung es, dimana awalnya hanya terjadi dikota-kota besar kemudian menjalar sampai kepelosok-pelosok dalam artian basis Grass Root (remaja SMP dan SMU), dan yang lebih parah lagi hal tersebut banyak kalangan menganggapnya sebagai hal yang lumrah untuk konteks sekarang ini (adanya sikap pembiaran, bahkan ikut ambil bagian dan keuntungan dengan kondisi seperti ini). Inilah sebuah situasi dimana dekadensi morlatas baik itu pada remaja masa kini maupun umat manusia pada umumnya telah sampai pada batas maksimum, dimana stake holder yang ada belum memiliki sikap integritas yang penuh dan belum maksimalnya komitmen moralitas sehingga hal tersebut diatas bisa terjadi. Sekali lagi harus dipahami bahwa fenomena tersebut hanyalah dampak dari kesalahkaprahan kita dalam memahami dan menaggapi dunia sekarang ini (modern). Anis Baswedan (Rektor Paramadina)  dalam sebuah simposium baru-baru ini mengemukakan bahwa kemorosatan moralitas bangsa yang dimulai dari kasus mafia pajak, Sampai pada merbaknya perilaku seks bebas pada remaja kita  diakibatkan karena yang diharapkan untuk memperbaiki hal tersebut belum memiliki sikap maksimal terkait moralitas dan belum jelasnya sikap integritas kebangsaannya diera serba yang global ini (modern). Pada dasarnya yang diharap ( Sang Lain Besar; Ungkap Zisek ) memahami betul akan dampak-dampak modernitas akan tetapi belum memiliki sikap yang maksimal terkait pencegahan akan dampak tersebut, akibatnya yang muncul adalah adanya sikap pembiaran dan semangat Invidulalisme dan tak peduli. Antoni Giddens dalam beberapa tulisannya sering mengingatkan kita bahwa modernitas selalu menghadirkan ketimpangan sosial, sebuah sikap pesimis atas munculnya berbagai macam resiko. Lebih lanjut Antoni Giddens berasumsi bahwa resiko adalah bahaya yang tak dapat dilenyapkan dalam kehidupan tetapi dalam kondisi modernitas tinggi, resiko mendapatkan proporsi yang baru. Orang hidup dalam ancaman bahaya yang tak terelakkan dan berada jauh diluar kontrol individu, organisasi besar bahkan negara. Intensitasnya makin tinggi dan dapat mengancam kehidupan manusia bahkan seluruh umat (1990).
Begitu besar resiko yang kita hadapi sekarang ini bahkan negarapun tidak bisa dan sanggup membalikkan keadaan yang sedang merajalela. Giddens kemudian berasumsi seperti itu karena dia melihat adanya pembiaran yang dilakukan oleh semua Stake Holder, dalam hal ini tuduhan itu dialamatkan ke penyelenggara pemerintahan. Kita lihat  ada upaya institusionalisasi terhadap praktek yang memang merosotkan moralitas bangsa, misalnya saja kita mengenal istilah Lokalisasi. Baik itu perjudian maupun tempat-tempat mesum, bukankah hal itu mengindikasikan adanya upaya pembiaran. Jangankan meminimalisir praktik tersebut, negara bahkan melakukan hal lain dalam bentuk lain ( Lokalisasi). Belum lagi kita melihat belum jelasnya ganjaran yang diterima bagi pelaku asusila, misalnya saja Luna Maya, dan Cut Tari untuk kasus video mesum yang diperankan oleh artis sekarang ini. Ini adalah tanda dan ciri khas dimana masalah moralitas dalam kacamata Hukum positve kita belum mendapatkan tempat yang proporsional. Padahal ini adalah persolan generasi penerus bangsa karena menyangkut publik Pigur, ataukah memang persoalan moralitas adalah persoalan individu!. Kalo hal itu memang benar maka tunggulah kehancuran komunitas seperti yang didengung-dengungkan oleh Emile Durkheim. Menurutnya....kehormatan individual atau kesetiaan terhadap kelompok terpaksa dikaburkan atau diabaikan sama sekali, akibatnya ikatan antarpribadi, berdasarkan kesamaan lingkungan tempat tinggal, kesukuan, agama dan kelas menjadi terputus. Individu menjadi terisolasi dan tercabut dari akar kebersamaannya.    
Kekaburan dan terabaikannya seluruh ikatan primordial yang telah tertanam sejak lama akan membawa kita pada masarakat tanpa norma (Anomie). Sebuah nmasyarakat dimana persoalan aturan dan etika moralitas sudah tidak lagi menjadi perdebatan, paling kecil hanya itu, dan yang lebih parah lagi kalo hal seperti itu sudah tak diperdebatkan lagi dan kecenderungan menganggapnya sebagai hal lumrah, akibatnya runtuhlah segala aspek pembentuk (kultural) dan muncullah budaya baru (individualisme). Olehnya itu kita jangan heran kalau setiap hari kita mendengar ada anak yang tega membunuh ibu kandungnya sendiri, seorang anak dengan gampang melakukan hubungan seksualitas tanpa   dilandasi dengan hukum pernikahan atau kita semua tidak boleh menutup mata karena melihat seorang anak remaja dengan leluasa melakukan aborsi, atau yang banter seorang remaja banyak hamil diluar nikah. Lalu pertanyaan yang perlu dialamatkn kepada seluruh stake holder sekarang ini adalah bagaimana hal i tu kita bisa counter, dan modal apa yang kita miliki untuk merubah itu semua. Tentunya hal itu bisa kita mulai dengan melakukan kajian mendalam terkait aspek prilaku remaja, dan kecendrungan perubahannya, dan bagaimana pula tanggapannya terhadap hadirnya revolusi teknologi dan media informasi.Wallahu alam bissawab.


Pengirim : MUH. IDRUS, S.Pd
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Sample text

 
Copyright © 2011. IMAMA ALOR NTT INDONESIA . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly powered by Blogger