<div style='background-color: none transparent;'></div>

World News

Featured Slider

Home » » Mambaca Dalai Lama: Untuk Para Pemimpin

Mambaca Dalai Lama: Untuk Para Pemimpin


Een leidersweg is een lijdensweg. Leiden is lijden.
Pertama kali membaca My Land and My People, saya teringat sosok Agus Salim. Pada suatu ketika, dalam obrolan di sebuah rembang senja ia mengatakan kalimat di atas. “Een leidersweg is een lijdensweg. Leiden is lijden,” ujarnya waktu itu pada Kasman Singodimedjo, salah seorang tokoh kemerdekaan Indonesia. Arti dari kalimat itu kira-kira begini: Jalan seorang pemimpin bukan jalan yang mudah. Jalan pemimpin adalah derita.

My Land and My People, adalah sebuah autobiografi dari seorang Dalai Lama. Memang tak ada kesamaan dalam sosok Dalai Lama yang seorang pemimpin Budha dengan Agus Salim yang seorang muslim. Kata lijden, derita, itulah yang membuat ingatan saya menggabungkan dua sosok antara Agus Salim dan Dalai Lama. Jalan derita, kira-kira itulah yang hingga kini ditapaki oleh Dalai Lama.
Buku ini dibuka dengan sebuah kisah pendek ajaib. Seorang bocah menyapa seorang Lama bernama Kwetsang Rinpoche yang memakai kalung rosario milik Dalai Lama ketiga belas. Dengan berani sang bocah meminta Lama Rinpoche memberikan rosario yang dikenakan kepadanya. Jelas ini bukan permintaan yang biasa, Lama Rinpoche membaca garis reinkarnasi pada wajah bocah ini. Dan benar saja, dua pertanyaan yang diberikan Lama Rinpoche pada si bocah berhasil dijawab dengan benar, bahkan mengagetkan. Pertemuan ini berlanjut dan sang bocah memenuhi panggilan garis tangannya, menjadi Lama. Bocah itu adalah Dalai Lama sendiri.
Dalai Lama, setiap kali kita mendengar namanya disebut, ada banyak bayangan yang melintas dalam benak kita selain seorang biksu Budha. Bayangan lain itu bisa tentang pengasingannya yang panjang, atau tentang eksotisnya negeri atap langit, Tibet plus sisi gaib perjalanan seorang Lama, atau bisa jadi Anda sedang membayangkan kekuatan moral yang besar dalam sosok lembut seperti Dalai Lama. Atau jangan-jangan Anda sedang membayangkan politik dalam negeri Cina dan invasinya atas tanah Tibet yang luar biasa. Jika semua itu Anda bayangkan, mari kita tutup bayangan itu.
Kini mari kita bayangkan, seorang laki-laki berusia setengah abad lewat, seorang biksu Budha yang lembut, seorang diplomat bijak, seorang pecinta damai yang matang bertutur tentang perjalanan hidupnya yang menjadi aikon sejarah dunia. Hasilnya, tentu saja kita akan mendapat dongengan tingkat dunia dari seorang Dalai Lama. Layaknya sebuah dongeng, pasti ada banyak kisah di dalamnya tentang heroisme pejuang hak hidup manusia, spritualitas sesejuk embun pagi dan banyak lagi, dan romantisme lembut nyaris seperti kelopak bunga lily. Lihat saja penuturan Dalai Lama tentang kedua orangtuanya: “Ayahku, ia laki-laki dengan hati yang baik. Tapi ia juga seorang yang bertemperamen sumbu pendek, meski demikian ia tak pernah marah terlalu lama…. Ibuku, ibuku adalah wanita penuh cinta. Ia sangat perasa, ia dengan senang hati memberikan makanannya pada orang lain yang butuh sementara dirinya sendiri bertahan dalam lapar.”
Sebenarnya My Land and My People lebih terasa sebagai novel daripada sebuah biografi. Novel yang istimewa. Bagaimana tidak istimewa, sepanjang 231 halaman pembaca akan disuguhi banyak kisah hidup orang-orang besar selain penulis autobiografi ini sendiri. Ada sekelumit pribadi Mahatma Gandhi, ada juga Chou En Lai, Maharaj Kumar dan tak ketinggalan sosok Mao Tse Tung yang menurut Dalai Lama adalah pribadi yang misterius. “Aku sering bertemu Mao dalam acara-acara sosial dan juga pertemuan pribadi. Penampilannya tidak mengesankan ia seorang dengan intelectual power kuat.  Ia juga selalu nampak tidak sehat, napasnya terengah-engah dan berat. Ia memakai baju seperti yang dipakai banyak orang, sepatu tak pernah disemir dan juga gerakan yang lamban. Tapi ia punya rasa percaya diri yang luar biasa tinggi.”
Keistimewaan lain dalam autobigrafi ini juga terdapat di bagian menjelang akhir. Bagian yang mengupas tentang spritualitas, tidak saja Budha tapi juga spritualitas manusia modern yang menurut Dalai Lama sangat kering akan cinta. Bagaimana caranya keluar dari lingkaran kering yang menguntai spritualitas manusia modern? Berkorban. Tak ada kenikmatan sejati melebihi nikmatnya mempraktikkan agama, dan tak ada yang lebih praktis daripada berkorban. “Know the suffering;  give up their causes; attain the cessation of suffering; follow the true path.”
Dalam bagian ini Dalai Lama juga mengupas pertanyaan purba tentang perjalanan hidup manusia: kemana hidup setelah mati? Adakah kehidupan setelah mati? Bagaimana jalannya hidupsetelah mati? Ya, pertanyaan-pertanyaan itu akan diungkap dalam My Land and My People. Dan sebaiknya Anda tak melewatkan autobiografi yang telah melakukan hal paling sulit di dunia ini: jujur pada diri sendiri.
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Sample text

 
Copyright © 2011. IMAMA ALOR NTT INDONESIA . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly powered by Blogger