<div style='background-color: none transparent;'></div>

World News

Featured Slider

Entertainment

Like IMAMA

Followers

INFO MARICA

Kulih Mate-Mate Aaki Tiwang Lewo Tanah
Letaknya di belakang gunung Nambila Kecamatan Pantar Barat Kabupaten Alor NTT. Bila dengan sepeda motor dari Ibukota kecamatan, anda akan menempuh perjalanan sekitar 2 jam, dengan jarak tempuh ±100 km.
Dulu sebelum ada kenderaan dari Baranusa (Ibokota kecamatan) ke Marica, masyarakat di sana biasanya jalan kaki atau mengenderai kuda.
Berangkat dari Baranusa sekitar pukul 04. 00 (subuh) dan tiba di Marica sekitar pukul 14. 00. Atau bisa juga dengan perjalanan laut menggunakan perahu motor atau perahu layar. Itu pun bila air laut teduh, tidak ada gelombang atau arus, kita bisa tiba di Marica dengan waktu perjalanan sekitar 1 jam lebih.
Namun pilihan menyeberangi laut ini cukup beresiko. Sebab melewati Nuha Wutung (tanjung yang memperantarai Baranusa dan Marica, cukup ganas ombaknya). Karena berhadapan dengan laut lepas antara selat Alor, Flores dan Lembata.
Beberapa waktu belakangan ini, setelah dibuat pengerasan jalan (aspal), rata-rata orang ke Marica menggunakan sepeda motor. Melewati jalan yang dikitari gunung Nambila dan terik matahari yang sedikit menyengat ubun-ubun. Meskipun jalan beraspal itu kini hancur berantakan akibat kerja kontraktor yang asal jadi.
Biasanya, orang ke Marica tidak punya tujuan lain, selain ingin membeli penganan laut yang sudah menjadi ciri khas pulau Marica. Karena masyarakat di sana hamipir 99,9% bermatapencaharian sebagai nelayanan.
Yang paling terkenal di Marica adalah ikan gurita dendeng (Octopus sp) dan kerang (Bivalvia sp) atau masyarakat Marica menyebutnya kehhe bong-bong yang sudah direbus setengah matang dengan air asam dan garam. Dan juga kebiasaan memburu telur dan daging penyu (Dermochelys coriacea) yang sudah menjadi tradisi nenek moyang hingga kini.
Jika di Ibokota kecamatan anda membeli jenis makanan laut ini dengan harga yang lumayan mahal, maka di Marica, cukup dengan morogok kocek Rp 10. 000-Rp 20.000, anda sudah bisa membawa pulang jenis makanan laut ini dengan jumlah lumayan banyak.
Untuk gurita misalnya, bila anda ingin membelinya dengan jumlah banyak, maka anda cukup memesannya lewat para nelayanan. Mereka pasti menangkap gurita sebanyak yang anda pesan dalam waktu tidak terlalu lama.
Untuk mendapatkan gurita, biasanya pera nelayan Marica menggunakan waktu malam untuk mencari jenis hewan laut tersebut. Mereka menyebutnya sulu atau bahasa daerahnya hullo =mencari ikan dimalam hari. Dan caranya pun unik. “Untuk mendapatkan gurita yang banyak kami menggunakan obor yang terbuat dari daun kelapa. Obor tersebut kami bakar dan berjalan menyisir sepanjang pantai”.
“Setelah obor daun kelapa tersebut terbakar habis dan meninggalkan serbuk daun kelapa yang hangus di sepanjang pantai, kami pun membakar lampu petromak. Dan kembali melewati jalan yang kami telusuri tadi. Dan sepanjang jalan itu pasti kami menemukan banyak gurita yang naik ke permukaan pesisir bermain-main dengan serbuk daun kelapa yang angus tadi, dan kami pun menangkap gurita dengan sepuas-puasnya”. Demikian tutur Amin (27) yang telah menekuni profesinya sebagai penangkap gurita sejak duduk di bangku MTs (setingkat SLTP).
Sedangkan untuk menagkap kerang, biasanya dilakukan pada saat air laut surut. Mencari kerang disaat laut surut ini disebut oleh masyarakat Marica dengan istilah Kapimma. “Dengan Kapimma kami bisa mengumpulkan kerang yang banyak dalam satu hari saja. Karena bila air surut, semua jenis kerang biasanya menempel dan bertumpuk-tumpuk di dalam rerimbunan rumput laut”. Jelas Aminah (21) wanita yang gigih menyekolahkan anaknya ke Bandung Jawa Barat dengan biaya dari penghasilan kapimma-nya
Kapimma biasanya dilakukan oleh mayoritas kaum ibu atau anak-anak gadis. Dan kerang yang diperoleh dari hasil kampimma itu selanjutnya dikeringkan dan di jual di Pasar Baranusa dengan harga Rp. 20. 000-Rp 25.000 untuk ukuran satu dos wings biru sedang.
Kapimma, dalam tradisi masyarakat Marica, tidak saja menjadi cara menyambung hidup dengan menagkap ikan, kerang dan gurita, tapi juga merupakan medium sosial yang mampu mempertemukan para wanita desa dalam satu ikatan emosi sebagai wanita nelayan. Karena dengan Kapimma, mereka saling bertegur sapa, berbalas pantun, yang belum kenal akhirnya bisa jadi saling kenal dalam tradisi Kapimma.
Tradisi Makan Penyu
Suatu hal yang unik dari nelayan Marica adalah menangkap penyu. Tidak hanya telurnya saja yang menjadi makanan faforit nelayan di sana, tapi daging penyu pun menjadi makanan yang digemari oleh hampir rata-rata masyarakat Marica.
Untuk menangkap penyu dan berpetualang mencari telurnya, para nelayan Marica memiliki cara tersendiri yang unik. Biasanya mereka membaca bulan. Laja (30) nelayan yang juga gemar menangkap penyu ini menuturkan pada penulis bahwa jika bulan purnama dengan dilingkari cahaya putih di sekelilingnya, itu bertanda musim penyu bertelur.
Dan bila sudah ada tanda-tanda seperti itu, mereka dengan mudah mendapatkan penyu beserta telurnya di pesisir pantai. Penyu yang didapat, biasanya dibuat dendeng kering dan dijual per tusuk (dalam satu tusukan ada lima buah) seharga Rp 2500. Dan telurnya setelah direbus dengan air laut, dijual di pasar seharga Rp 500.
Daging penyu terbilang cukup gurih di lidah, karena dagingnya empuk, tidak amis dan bertahan lama. Penulis sendiri pernah menikmati kegurihan daging penyu sewaktu berkunjung ke sana di tahun 2005. “Waktu itu saya disuguhi kua asam pedas daging penyu dan nasi jagung yang di taburi kelapa”. Nikmatnya menyelusuk hinga seluruh organ perasa.
Dilupakan
Namun sayang disayang, pulau yang menyimpan limpahan sumber daya laut ini dibiarkan terlantar begitu saja. Semakna dengan plesetan untuk NTT (Nasib Tidak Tentu). Padahal dengan sumber daya laut, masyarakat Marica bisa merubah taraf hidupnya dari segi ekonomi. Tapi sekali lagi sayang, pemerintah belum membuka akses pasar untuk seluruh sumber daya ekonomi di Marica sebagai salah satu kantong rupiah di Kabupaten Alor. Pemerintah Kabupaten Alor justru menikmati perdikatnya sebagai Kabupaten terkorup No wahid di NTT.
Buktinya, pulau ini begitu terisolir. Jalan aspal yang dibuat 20 tahun lalu pun kini tak berbekas. Bila musim hujan tiba di sepanjang jalan dari Baranusa-Marica berlupur dan sulit dilewati kendaraan.
Intinya, pemerintah Kabupaten Alor tidak mampu menyediakan pasar yang bunafit untuk sektor ekonomi pesisir di pulau Marica. Akibatnya, produktifitas nelayan tidak bisa berorientasi jangka panjang. Karena masyarakat Marica hanya menagkap Ikan untuk dimakan sehari.
Sumber air bersih pun sangat terbatas. Dengan jumlah penduduk ± 5000 kepala keluarga (KK), masyarakat Marica hanya mengandalkan satu sumur tua hingga saat ini. Itupun terkadang terasa sepat keasinan bila air pasang.
Dulu pemerintah Desa Marica pernah mengalirkan air dari gunung ke penduduk. Masing-masing RT (Rukun Tetangga) mendapat jata satu bak air dengan kapasitas 5000 liter yang digunakan bersama. Namun belakangan sudah sekitar 10 tahun ini air gunung tersebut tidak bisa digunakan. Karena debit air yang semakin kecil akibat perubahan iklim yang disebabkan oleh pembakaran hutan yang semakin marak terjadi oleh para pemburu rusa. Akibat kurang tersedianya air bersih ini, masyarakat Marica sering terserang wabah kolera.
Dengan keterbatasan yang demikian, detak nadir kehidupan di pulau Marica masih ada. Dan menjadi salah satu pulau penyumplai ikan terbesar di Kabupaten Alor-NTT. Kita berharap, ke depan Pemerintah Kabupaten Alor dan NTT sadar, bahwa Pulau Marica adalah sumber rupiah yang terlupakan. ***


Sample text

 
Copyright © 2011. IMAMA ALOR NTT INDONESIA . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly powered by Blogger